Ketika Waktu Berjalan Tanpa Permisi
Seperempat abad. Dua puluh lima tahun.
Aku mencoba mengingat kembali momen-momen yang kulewati. Di umur dua puluh tiga, aku baru saja menyelesaikan kuliah. Ada rasa bangga, tapi juga kelelahan. Aku ingat betapa sulitnya hari-hari itu, bagaimana aku harus bertahan di tengah rasa patah hati yang begitu dalam, sembari mencoba menata masa depan. Di tahun itu, hidupku penuh perjuangan.
Kemudian, umur dua puluh empat tiba. Aku mulai membangun diri, mencari pekerjaan, dan menyadari tanggung jawabku yang semakin besar. Aku adalah satu-satunya tumpuan keluargaku. Aku bekerja keras—terlalu keras, mungkin—hingga aku lupa bagaimana caranya berhenti sejenak untuk bernapas. Hari-hari berlalu seperti sebuah film yang dipercepat. Tidak ada jeda. Hanya ada tuntutan dan tanggung jawab.
Dan sekarang, aku di sini. Dua puluh lima tahun. Umur yang dulu terasa jauh sekali, tapi kini datang tanpa aba-aba. Aku bertanya-tanya, ke mana perginya waktu itu?
Usia dua puluh lima adalah titik di mana aku mulai bertanya banyak hal pada diri sendiri. Apa yang sudah aku capai? Apa aku sudah cukup bahagia? Apa aku sudah menjadi versi terbaik dari diriku? Jujur, kadang aku takut dengan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu.
Aku merasa belum melakukan banyak hal, padahal waktu terus berjalan. Aku merasa belum cukup baik, padahal aku tahu aku sudah berusaha keras. Kadang aku merasa kalah, bukan dengan orang lain, tapi dengan diriku sendiri.
Namun, di tengah semua keraguan itu, aku mencoba untuk tidak terlalu keras pada diriku sendiri. Aku ingatkan diriku bahwa
Hidup ini bukan perlombaan. Setiap orang punya waktunya masing-masing.
Waktu itu kejam, tapi juga adil. Ia tidak pernah berhenti, tidak peduli seberapa keras aku ingin memintanya menunggu. Tapi waktu juga memberi pelajaran penting—bahwa aku tidak boleh menunda hidupku hanya karena aku terlalu sibuk mengejar sesuatu yang tidak pasti.
Aku mulai belajar menghargai momen-momen kecil.
Seperti pagi yang dingin dengan secangkir kopi, atau senja yang hangat saat pulang kerja.
Aku mulai belajar bahwa kebahagiaan bukanlah sesuatu yang besar dan megah, tapi justru ada di hal-hal sederhana yang sering terlewatkan.
Sekarang, aku tidak tahu apa yang akan terjadi di umur dua puluh lima ini. Aku tidak tahu apakah aku akan berhasil mencapai semua yang aku impikan, atau apakah aku akan menghadapi kegagalan yang lebih besar. Tapi satu hal yang aku tahu:
Aku ingin mulai hidup di masa kini, bukan terus terjebak dalam bayang-bayang masa lalu atau kekhawatiran masa depan.
Aku ingin memeluk waktu, bukan lagi melawannya.
Aku ingin menerima bahwa setiap detik yang berlalu adalah bagian dari perjalanan yang lebih besar.
Jadi, kepada waktu, aku ingin berkata
"Aku tahu aku pernah melupakanmu, tapi sekarang aku berjanji untuk lebih menghargaimu"
Dan kepada diriku sendiri, aku ingin berkata
"Tidak apa-apa kalau kamu merasa tersesat. Tidak apa-apa kalau kamu merasa waktu berjalan terlalu cepat. Yang penting, kamu terus berjalan. Karena hidup ini adalah perjalanan, bukan tujuan."
Selamat datang, seperempat abad.
Semoga aku bisa menjalani tahun-tahun ini dengan lebih baik, lebih penuh syukur, dan lebih berani untuk mencintai diriku sendiri.
Komentar
Posting Komentar