Sunrise, Edelweiss, dan Waktu
![]() |
Mt. Gede 2958 mdpl |
Aku masih ingat jelas di pos 3. Awalnya aku percaya diri bisa bawa carrier-ku sampai atas. Tapi kenyataan menampar keras. Tiba-tiba kaki kram, nafas terasa sesak, dan muncul pertanyaan kecil "Aku bisa sampai puncak gak ya?".
Di titik rapuh itu, aku belajar arti tolong-menolong. Dicky, teman baru diperjalanan ini, tiba-tiba datang menghampiri. Tanpa banyak kata, ia langsung mengambil carrier dari pundakku. "Gue yang bawain, Sya." Awalnya aku merasa lemah dibanding yang lain, tapi justru di situ aku sadar, pendakian bukan soal siapa yang paling kuat, tapi siapa yang mau berjalan bersama.
Perjalanan berlanjut. Gelap mulai turun ketika kami masih di jalur menuju pos 4. Malam semakin pekat, tubuh semakin lelah, tapi akhirnya kami sampai di Alun-alun Surya Kencana sekitar pukul 7 malam. Suhu dingin menggigit, tenda didirikan seadanya, dan kami masak ala kadarnya. Rencana menu istimewa seperti nasi goreng, sarden, mie goreng, dan mie kuah? Nyatanya hanya sarden, sosis, nugget, dan secangkir kopi yang berhasil dimasak. Masak nasi? Gagal total. Tapi justru itu yang bikin lucu untuk dikenang.
![]() |
stargazing Alun-alun Suryakencana, 10 Agustus 2025 03.57 |
Dini hari, aku terbangun karena Tintin ingin buang air kecil. Kami keluar tenda, mencari tempat yang aman. Saat itu, aku mendongak ke langit. Bintang-bintang bertebaran, seakan sedang menyapa. Tiba-tiba ada cahaya cepat yang melintas—entah meteor atau hanya pantulan cahaya—yang membuatku teringat pada potongan lirik Barasuara: "Terbuang Dalam Waktu". Ada hal-hal dalam hidup yang memang hanya bisa jadi kenangan, tak bisa kita simpan, tak bisa kita ulang.
![]() |
sunrise Alun-alun Suryakencana, 10 Agustus 2025 05.31 |
Pagi datang. Sunrise menyinari Alun-alun Surya Kencana dengan warna emasnya. Pemandangan yang begitu menenangkan, sekaligus menggetarkan. Bersamaan dengan terbitnya matahari, tampak lautan edelweiss mulai memanjakan mata. Mekar dengan tenangnya, seolah mereka menyapa seluruh pendaki yang sedang berada di sana. Edelweiss selalu punya cara untuk mengingatkan, pada nyatanya kita mungkin rapuh, lelah, bahkan merasa terbuang dalam waktu. Tapi jika kita berani tumbuh, kita bisa jadi abadi, setidaknya di hati orang-orang yang pernah berjalan bersama kita.
Pendakian kali ini salah satu memori yang paling membekas, pulangnya kami disapa oleh hujan di Cipanas. Lalu disambut dingin di Puncak Pass. Gak nyangka bakalan dapet bonus lebih selain dapat puncak yang cerah—golden sunrise, stargazing, dan meteor yang sempat melintas.
Dan tentu saja, pendakian ini tidak akan sama tanpa mereka:
Ojan – ketua rombongan yang selalu makesure keperluan dan jago negosiasi
Tintin – chef andalan yang selalu detail soal logistik.
Tri – paling cekatan menembus jalur pendakian.
Vian – si paling muda tapi nyampe puncak duluan.
Helmi – sweeper yang tenang, sekaligus tour leader expert yang menuntun setiap langkah ciwi-ciwi
Dicky – koorlap kocak dan paling peka ketika temannya butuh bantuan.
Ojan, Tintin, Tri, dan Vian yang sudah lama kukenal, serta Helmi dan Dicky yang baru saja masuk lingkaran tapi langsung hangat. Terima kasih sudah membuat perjalanan ini lebih ringan dan penuh warna.
Dan tentu saja, tak lengkap tanpa momen-momen receh, jalan tengah, naik abang-abang, camscanner, double carrier, bakso kelinci tumis, jas hujan robek Dicky, sampai bendera One Piece. Rasanya masih kurang banyak dokumentasi kocak yang bisa dibawa pulang. Mungkin itu tandanya kita harus bikin agenda pendakian selanjutnya, ya?
Jadi, setelah Gunung Gede… next kemana lagi? Jawa Tengah, mungkin? 🌄✨
Komentar
Posting Komentar